Menyiasati Penurunan Harga REKSADANA

Sekitar satu bulan terakhir media massa banyak menurunkan berita tentang jatuhnya harga reksadana. Saya punya sedikit reksadana, dan sungguh khawatir dengan situasi seperti itu. Bagaimana saya harus bersikap? Apakah saya harus mencairkan kembali reksadana saya?
Salam,

Ribut Waluyadi

Selamat, Pak Ribut, tampaknya anda adalah orang yang sangat peduli dengan masalah manajemen keuangan keluarga. Sayang bahwa anda tidak memberikan informasi yang lebih lengkap, terutama menyangkut jenis reksadana yang telah anda pilih. Sebab, setiap jenis reksadana memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Kita tahu, reksadana bisa dikelompokkan dalam beberapa kategori. Pertama adalah reksadana pendapatan tetap, yang berisi instrumen-instrumen pendapatan tetap seperti obligasi (surat utang) dan deposito. Yang kedua adalah reksadana saham, yang berisi saham-saham yang tercatat di bursa. Yang ketiga adalah reksadana pasar uang, yang isinya adalah instrumen pasar uang, seperti pinjaman antarbank berjangka semalam. Yang keempat adalah reksadana campuran, yang isinya adalah kombinasi dari dua atau tiga kelompok sebelumnya. Komposisi dari reksadana terakhir ini berbeda-beda. Ada yang obligasinya besar sahamnya kecil atau sebaliknya. Ada yang pasar uangnya besar sedangkan dua yang lain seimbang dan seterusnya.
Setiap reksadana dihitung dengan ukuran yang disebut nilai aktiva bersih (NAB) per unit. Cara menghitungnya memang tidak sederhana. Tetapi secara garis besar NAB bisa dianggap sebagai indeks atas satu reksadana. Pada saat diterbitkan, misalnya, ditetapkan NAB-nya 1000. Maka kalau sekarang NAB-nya 1800 berarti sejak diterbitkan sampai hari ini telah terjadi kenaikan sebesar 80%.
Berita yang anda baca memang ada benarnya, tetapi tidak seluruhnya benar. Dari berbagai jenis reksadana yang ada, yang mengalami penurunan umumnya adalah jenis reksadana pendapatan tetap. Reksadana saham memang juga mengalami penurunan, tetapi secara rata-rata tidak sebesar penurunan pada reksadana pendapatan tetap. Penurunan reksadana pendapatan tetap terjadi karena kenaikan suku bunga. Lho, apa hubungannya?
Hubungannya erat sekali. Penjelasan umumnya begini. Kalau suku bunga naik, maka investor akan berhitung, apakah kenaikan itu cukup berarti. Kalau cukup berarti, mereka akan memilih menarik uangnya dari instrumen investasi yang cukup berisiko (saham, obligasi), dan memindahkannya di bank pada instrumen deposito. Selain aman, bunganya juga sudah lebih baik karena kenaikan tersebut. Dalam cara pandang umum ini, semua jenis investasi, baik saham maupun obligasi, akan cenderung turun. Tetapi, mestinya reksadana pasar uang tidak akan turun, karena mekanisme pasar yang sangat cepat sekali. Begitu suku bunga naik hari ini, pasar uang akan langsung merespon dengan cepat karena pasar uang umumnya berjangka sangat pendek.
Penjelasan khususnya adalah kaitannya dengan reksadana obligasi. Karena suku bunga naik, maka penerbitan obligasi baru jadi terbatas, karena penerbit akan menghitung ulang, apakah lebih menguntungkan menerbitkan obligasi, atau pinjam ke bank. Kalau bunga naik, otomatis pembeli obligasi juga menuntut bunga yang tinggi, bukan? Karena itu, dan ini yang terjadi, penerbitan obligasi baru sangat sepi akhir-akhir ini. Bahkan banyak perusahaan, termasuk bank, yang membatalkan rencananya menerbitkan obligasi.
Kalau begitu, bukankah itu berarti bahwa pasokan obligasi jadi terbatas? Kalau permintaan tetap, bukankah harusnya harga obligasi akan naik? Logikanya memang begitu. Tetapi ada satu faktor lain, yaitu faktor sentimen pasar. Para investor umumnya memang langsung panik kalau suku bunga naik. Lesu darah di kalangan penerbit obligasi biasanya menular juga ke pihak investor.
Yang terjadi di pasar modal kita tampaknya seperti itu. Kalangan investor ramai-ramai menarik dananya, sebagian karena berburu instrumen lain, sebagian karena panik. Mana dari kedua alasan ini yang lebih dominan? Sulit untuk menebak. Yang pasti, total dana kelolaan reksadana secara nasional sempat mencapai lebih dari Rp100 triliun, dan sempat anjlok ke sekitar Rp70 triliun setelah suku bunga naik, walaupun sekarang jumlah dana kelolaan itu perlahan mulai naik lagi.
Apakah perubahan suku bunga yang hanya beberapa basis poin itu sudah cukup menjadi alasan bagi investor untuk menarik dananya? Menurut hitung-hitungan kami, untuk investor lokal memang tidak begitu berarti. Tapi untuk investor asing, kenaikan bunga yang sedikit itu bisa sangat berarti. Di Amerika, misalnya, orang merasa cukup dengan suku bunga sekitar 3% per tahun, dengan risiko yang sangat minim. Tetapi ketika menempatkan dananya dalam rupiah, mereka menghadapi beberapa risiko sekaligus. Investasi sendiri pada dirinya sendiri sudah berisiko. Sementara itu kenaikan suku bunga, yang dimulai dari Amerika sendiri, akan cenderung menaikkan nilai tukar dollar dan melemahkan nilai tukar mata uang lokal. Jadi akumulasi risiko antara risiko investasi plus risiko nilai tukar buat mereka cukup serius, sehingga mereka memilih mundur dari pasar modal kita.
Itulah kira-kira, mengapa reksadana kita cenderung melemah akhir-akhir ini, karena instrumen yang menjadi isi reksadana itu sendiri cenderung melemah. Apakah anda harus ikut melepas reksadana anda? Pilihan ada di tangan anda. Hanya saja sebenarnya reksadana bukanlah alat investasi jangka pendek, melainkan investasi jangka panjang. Minimal ada satu kerugian untuk keluar masuk, yakni bahwa anda harus membayar biaya transaksi.

Postingan populer dari blog ini

Panduan Menyimpan Dana di Bank

Risiko Investasi Reksadana